Logo Harian.news

Ketahanan APBN dan Kebutuhan Subsidi BBM

Editor : Redaksi Senin, 12 September 2022 15:31
Ketahanan APBN dan Kebutuhan Subsidi BBM

Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA
(Analis dan Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia)

TINGGINYA alokasi subsidi energi, yang mencapai Rp. 502 triliun telah menyebabkan pemerintah mau tak mau melakukan serangkaian penghematan. Dalam menyikapi hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengingatkan jika tak ada pengendalian, maka jumlah tersebut berpotensi akan melambung lebih tinggi lagi.

Hal sama juga disampaikan Menteri Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) Sri Mulyani yang mengingatkan jika bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi (pertalite dan solar), kuotanya akan habis pada September sampai Oktober 2022.

Baca Juga : Strategi untuk Menjaga Keseimbangan Antara Belajar dan Kesehatan Mental pada Remaja

Peruntukan subsidi energi yang meliputi subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan subsidi gas elpiji 3 kg sejatinya telah banyak memberi beban berat bagi Anggaran Dasar Belanja Negara (APBN). Jika merujuk pada sisi aturan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, subsidi energi adalah hak kelompok masyarakat yang tidak mampu.

Implementasi subsidi energi sejatinya diberikan kepada yang berhak atas subsidi energi (BBM, listrik, dan gas elpiji) adalah untuk masyarakat miskin. Untuk energi listrik, masyarakat tak mampu diejawantahkan pada segmen konsumen listrik kategori 450-900 Volt ampere (VA). Konsumen 450 VA bahkan nyaris diberikan subsidi penuh, sejak 2002. Sedangkan pada gas elpiji direalisasikan pada tabung gas elpiji 3 kg, atau gas melon.

Dalam asumsi pemerintah, BBM bersubsidi jenis pertalite lebih dari 70% dinikmati pemilik mobil pribadi dan sisanya pengguna sepeda motor. Pengguna mobil pribadi jelas tidak termasuk masyarakat miskin dan atau masyarakat rentan miskin. Khusus pengguna sepeda motor sekitar 10 – 15% profilnya mereka yang memiliki pendapatan rendah (low income).

Baca Juga : DM : Loyalitas, Dedikasi, Bungkam Ambisi

Kondisi Ini menyebabkan terjadinya anomali peruntukan subsidi energi khususnya subsidi BBM. Karena konsumen subsidi energi bukan untuk masyarakat miskin, sebagaimana mandat UU tentang Energi, tetapi kelompok orang kaya yang menikmati fasilitas subsidi BBM.

Prioritas Rasional

BBM merupakan produk energi fosil, yang banyak menghasilkan jejak karbon, atau emisi gas buang. Semakin rendah kualitas jenis BBM maka semakin tinggi pula emisi gas buangnya, dan sebaliknya. BBM selama ini masih menghasilkan emisi gas buang secara signifikan.

Pertalite belum memenuhi standar Euro 2, karena level oktan number-nya hanya 90, begitu juga solar, cetan number hanya 50. Untuk memenuhi Euro 2, untuk jenis gasolin minimal oktan numbernya 92, dan untuk jenis diesel/solar, cetan number-nya minimal 51.

Baca Juga : T A B E, Amir Uskara Pimpin Kabupaten Gowa

Sementara, di wilayah Asia Tenggara, jenis BBM bahkan sudah mencapai standar Euro 4, dan di Eropa sudah mencapai Euro 6. Artinya kualitas BBM yang beredar di Indonesia masih kalah jauh dengan kualitas yang dijual di pasar internasional.

Melihat banyak sengkarut masalah lanjutan dibalik penerrapan subsidi BBM maka perspektif pemerintah perlu regulasi jelas dalam menata skala prioritas kebijakan, termasuk konsistensi mandat dari Undang – Undang (UU) Energi, plus keadilan sosial dan keadilan ekologis. Dalam preservasi lingkungan pemerintah dalam kontekstual ini harus menekan penggunaan energi fosil, yang berarti juga menekan produksi emisi gas buang (gas karbon), termasuk untuk jenis BBM kotor seperti jenis pertalite, dan solar.

Secara bijak, Pemerintah harus melihat nilai fluktuasi harga minyak mentah dunia termasuk dengan menyiapkan dana tabungan minyak. Saat harga minyak mentah turun selisihnya dapat disimpan dalam dana ini. Begitu juga sebaliknya saat harga minyak mentah melambung seperti sekarang, dana simpanan (oil fund) ini dapat digunakan untuk menekan kestabilan pasar. Saat terjadi gejolak harga minyak mentah dunia, maka harga ritel BBM di dalam negeri tak perlu dinaikkan dan dapat diambil dari dana tabungan BBM ini. Dengan cara ini, harga BBM dalam negeri akan jauh lebih stabil, sehingga masyarakat tak terkena efek domino atas kenaikan harga BBM.

Pertimbangan Inflasi

Baca Juga : Amir Uskara Ternyata Petarung

Konsumsi stagnan akibat daya beli yang tidak berubah dapat menimbulkan inflasi karena suku bunga yang tinggi akan membuat aktivitas ekonomi menjadi semakin tak stabil. Selama ini banyak industri Indonesia yang mendistribusikan barang dan jasa yang dihasilkan oleh industrinya karena menggunakan BBM bersubsidi.Disinilah pemerintah seharusnya juga harus cermat melihat konsekuensi logis dari kebijakan kenaikan BBM bersubsidi karena dikhawatirkan kebijakan ini akan menghambat pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.

Dalam analisis global, tekanan inflasi yang banyak menekan ekonomi dunia saat ini memang memberikan ancaman yang sangat menakutkan. Tekanan krisis Ukraina yang tak berkesudahan, hambatan pasokan, hingga ancaman krisis keuangan secara besar menjadi fokus atensi untuk membangun keseimbangan ekonomi dalam negeri masing – masing negara dunia.

Salahsatu yang paling dikhawatirkan adalah dampak apokaliptik (kerusakan) akibat melejitnya harga makanan di banyak negara. Laju inflasi secara global memang telah melonjak ke level tertinggi, karena didorong besarnya kegiatan ekonomi publik setelah pembatasan sosial pandemi Covid-19 tapi dihambat oleh gangguan rantai pasokan pangan

Kenaikan harga-harga komoditas pangan menjadi hal yang paling mengkhawatirkan, selain naiknya sejumlah harga komoditas global lainnya. Berdasarkan data dari Bank Dunia (World Bank) tingkat inflasi rata-rata di seluruh dunia kini sebesar 7,4%. Angka tersebut melonjak dari 4,35% pada 2021, dan 3,18% pada 2020 (World Bank, 2022). Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jika inflasi Indonesia tahunan Agustus 2022 mencapai 4,69%. Angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan inflasi bulan Juli 2022 yaitu 4,94% (yoy). (Kemenkeu RI, 2022)

Pada sisi pengeluaran, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jika inflasi kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi yang tertinggi yakni 7,73%.(BPS, 2022). Jika ditelaah lebih lanjut, komoditas yang dominan menyumbang inflasi adalah cabai merah, bawang merah, minyak goreng, rokok filter, telur ayam, dan ikan segar.

Oleh sebab itu, saat ini pemerintah jelas harus cermat untuk memperkuat kebijakan pengendalian inflasi 2022 secara komprehensif. Khususnya sisi suplai dan distribusi komoditas pangan serta komoditas lainnya yang harganya mengacu pada aturan pemerintah.

Jika melihat data lapangan, kenaikan biaya barang dan jasa telah memengaruhi lebih dari 52% kemampuan konsumen dalam membeli barang dan kondisi ini memengaruhi keputusan pembelian mereka. Adanya kenaikan biaya ini berdampak paling besar pada mereka yang berpenghasilan rendah.

Selain itu, mereka yang berpenghasilan menengah dan konsumen berpenghasilan tinggi faktanya turut berhati – hati karena mereka memiliki tagihan kredit yang besar pula dan rata – rata para pekerja operasional yang terlibat dalam urusan kredit tersebut adalah mereka dari kelompok pengguna BBM bersubsidi.

Dengan demikian, ketergantungan masyarakat dengan harga BBM bersubsidi yang ditopang oleh APBN sejatinya memang akan melibatkan semua lapisan sosial dan jika hal itu terjadi terus menerus akan melahirkan dampak negatif yang berkelanjutan.

Secara rasional, kita memang tidak dapat bertahan dengan harga minyak dunia yang terus meningkat. Beberapa faktor yang menyebabkan harga BBM subsidi terus bertambah, adalah soal tingginya harga minyak mentah di dunia yang menyebabkan harga keekonomian terus bergerak naik.

Namun, harga jual eceran yang diumumkan oleh pemerintah masih di bawah harga ekonomi terkini sehingga selisihnya akan tetap menjadi tanggungan APBN, berupa subsidi dan kompensasi. Pertimbangan hati-hati menjaga ketahanan APBN boleh jadi menjadi strategi baik untuk efektivitas keuangan negara.

Tapi perlu diingat, masyarakat juga butuh kebijakan normalisasi yang kuat dari pemerintah untuk menyediakan segala macam pembenahan fasilitas publik dan asupan ketersediaan berbagai macam kebutuhan komoditas.

Upaya pemberian bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah pusat dan daerah, sebagai pengalihan subsidi BBM boleh jadi hanya meringankan beban ekonomi dalam waktu singkat dan sementara. Namun dampak panjang tergangunya stabilitas ekonomi masyarakat jelas merupakan persoalan lain yang tidak dapat diselesaikan secara sederhana. Pemerintah harus punya program jangka panjang demi mempersiapkan skema yang tepat menjaga stabilitas ekonomi nasional secara berkelanjutan.

Alangkah ideal jika pengalihan dana subsidi BBM dapat diberikan kepada fasilitasi program beasiswa gratis untuk penelitian tentang sumber energi terbarukan yang ramah ekonomi dan lingkungan. Hal inilah yang sejujurnya lebih memberi jalan keluar efektif bagi langkah penyelesaian masalah stabilitas harga BBM dalam negeri.

Karena jika terformulasi secara benar maka Indonesia memiliki ketahanan energi dalam negeri yang berdaya guna dan pada gilirannya akan dapat memberi mamfaat yang lebih banyak kepada masyarakat umum.

 

KPU

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi@harian.news atau Whatsapp 081243114943

Follow Social Media Kami

Tag : opini
KomentarAnda