HARIAN.NEWS, MAKASSAR – PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (PT GMTD) menegaskan bahwa klaim PT Hadji Kalla terhadap kepemilikan lahan 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan dokumen resmi Pemerintah Republik Indonesia.
Penegasan ini disampaikan langsung oleh Presiden Direktur PT GMTD, Ali Said, dalam keterangan resminya melalui siaran pers yang dikirim Senin (17/11/2025).
Ali Said menyatakan bahwa sejak tahun 1991 pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan kawasan Tanjung Bunga sebagai kawasan wisata terpadu yang sepenuhnya berada dalam mandat tunggal PT GMTD melalui serangkaian Surat Keputusan negara.
Baca Juga : Sengketa Tanah Tanjung Bunga: GMTD Rincikan Fakta Hukum dan Bantah Tuduhan ‘Serakahnomics’
Mandat tersebut tertuang dalam SK Menteri PARPOSTEL tanggal 8 Juli 1991, SK Gubernur Sulsel tanggal 5 November 1991, SK Penegasan Gubernur 6 Januari 1995, serta SK Penegasan dan Larangan Mutasi Tanah tanggal 7 Januari 1995.
“Dokumen negara ini bersifat final dan mengikat. Keputusan pemerintah menyatakan bahwa hanya PT GMTD yang berwenang membeli, membebaskan, dan mengelola kawasan Tanjung Bunga. Tidak ada pihak lain yang memiliki izin pada periode tersebut,” ujar Ali Said.
Ia menjelaskan, kawasan Tanjung Bunga pada 1990-an masih berupa rawa dan tanah negara, tanpa pasar tanah, tanpa izin lokasi bagi pihak lain, dan tanpa satu pun dasar hukum yang memungkinkan pihak mana pun selain PT GMTD menguasai atau memiliki lahan di wilayah tersebut.
Baca Juga : GMTD Tegaskan Kepemilikan Sah atas 16 Hektare Lahan di Tanjung Bunga
Karena itu, klaim sejumlah pihak, termasuk PT Hadji Kalla, mengenai “penguasaan fisik sejak 1993” dinilai tidak relevan dan tidak memiliki nilai hukum.
“Dalam hukum agraria, penguasaan fisik tidak melahirkan hak kepemilikan tanpa izin pemerintah. Apalagi pada masa itu kawasan tersebut adalah tanah negara yang dicadangkan untuk proyek pemerintah,” terangnya Ali Said.
Terkait keberadaan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diklaim PT Hadji Kalla, Ali menegaskan bahwa legalitas sertifikat harus diuji berdasarkan objek tanahnya.
Baca Juga : Patuhi Putusan Pengadilan, GMTD Laksanakan Eksekusi Lahan 16 Hektare di Tanjung Bunga
Jika sertifikat diterbitkan tanpa izin lokasi, tanpa IPPT, tanpa persetujuan gubernur, tanpa pelepasan hak negara, dan tanpa persetujuan PT GMTD sebagai pemegang mandat tunggal, maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan secara administratif.
“PT Hadji Kalla kami persilakan menunjukkan dokumen dasar hak yang sah pada periode 1991–1995. Hingga hari ini, dokumen tersebut tidak pernah ada,” tambahnya.
Ali Said juga menepis klaim adanya “pembebasan tanah 80 hektare pada 1980-an” oleh pihak lain, yang menurutnya tidak tercatat dalam arsip pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun BPN.
Baca Juga : GMTD Salurkan Puluhan Paket Sembako untuk Warga Tanjung Bunga Makassar
Ia menegaskan bahwa normalisasi Sungai Jeneberang pada periode itu adalah pekerjaan konstruksi, bukan pemberian hak atas tanah.
PT GMTD juga menyampaikan bahwa tidak pernah ada putusan pengadilan, surat BPN, atau catatan administrasi apa pun yang membatalkan SK pemerintah yang memberikan mandat kepada PT GMTD.
Perusahaan juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah menjual, melepaskan, atau mengalihkan lahan 16 hektare yang menjadi objek sengketa.
Ali Said turut mengungkap fakta pemagaran dan dugaan penyerobotan lahan. Menurutnya, seluruh pagar di area 16 hektare adalah pagar resmi PT GMTD, dan penyerobotan sekitar 5.000 meter persegi telah dilaporkan secara resmi melalui sejumlah laporan polisi pada akhir September hingga Oktober 2025.
Ali Said menegaskan bahwa PT GMTD selalu terbuka untuk dialog dan komunikasi konstruktif, namun tidak akan berkompromi terhadap dokumen negara.
“Integritas hukum kawasan Tanjung Bunga adalah mandat publik dan wajib dijaga,” tutupnya.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
