HARIAN.NEWS, MAKASSAR — Hidup di zaman algoritma, membutuhkan mental cadangan, harus siap dihina, direndahkan dan dicacimaki.
Penulis dituntut dalam menuangkan pemikiran harus berseni, bernyawa, menyanyi, menari dan terkadang muncul dalam perwujudan AI.
Sebuah bentuk perlawanan agar mereka tertarik menghabiskan waktunya untuk melahap bacaan-bacaan minimal 20-30 menit.
Baca Juga : BPJS dan Jerit Senyap yang Luput
Pewarta wajib memiliki jiwa seni dalam mengolah kalimat sehingga makian terdengar lebih easy going mengalir apa adanya dan menjadi manfaat yang menguatkan. Bukan tentang siapa yang paling genius namun siapa paling tahan di buli. Disitulah revolusi menulis lahir.
Di era digital bukan lagi persoalan isi, tapi Vibes (energi). Tidak cukup melalui perkisahan, harus disertai interaksi langsung, sehingga tidak memerlukan waktu lama mendapat konfirmasi.
Seperti kisah heroik yang dilakukan Agam Rinjani mengangkat jenazah seorang warga negara Brazil di Gunung Rinjani Lombok pada ketinggian 600 m, akhir Juni 2025 lalu.
Baca Juga : Pendengung dan Pemengaruh
Di medsos bagaimana cacian para netizen dan juga pihak negara lain merendahkan kualitas pemerintah dan masyarakat dalam penanganan kemanusiaan, tidak gercep (gerak cepat).
Durasi terlalu lama. Kalimat-kalimat yang dilontarkan terkesan menghakimi dan merendahkan, tidak memberi ruang, dengan enteng mereka katakan tim keselamatan seolah sengaja mengulur waktu, tidak ada koordinasi dsb.
Seiring memanasnya komentar buruk, beberapa pihak yang peduli dan lebih tau tentang keadaan di lapangan angkat bicara saling menimpali, sembari memberikan gambaran bagaimana situasi yang sebenarnya mengenai karakteristik alam disana saat dipantau menggunakan drone.
Baca Juga : Dampak AI bagi Kaum Minoritas
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
