HARIAN.NEWS, GOWA — Dulu sejuk, kini muram. Malino dan Malakaji, dua mutiara di dataran tinggi Gowa yang dulunya memesona dengan kabut dingin dan hijaunya hutan pinus, kini menghadapi ancaman nyata: kehancuran lingkungan yang masif dan nyaris tak terbendung.
Bukan rahasia lagi, suara-suara tentang kerusakan lingkungan di kawasan hutan lindung dan sekitarnya terus terdengar nyaring sepanjang tahun.
Namun, sayangnya, jeritan alam itu seperti diterbangkan angin—tanpa respons nyata dari mereka yang punya kuasa.
Baca Juga : Kampung Eropa Malino Bantu 10 Keluarga Miskin Gowa
Dari pantauan eksklusif harian.news di Kecamatan Tinggimoncong dan Tombolo Pao, ditemukan fakta mengejutkan: ratusan hektare hutan pinus diambang kehancuran.
Praktik pengelolaan getah karet yang serampangan dan ekspansi pemukiman yang agresif menjadi dua aktor utama perusakan ini.
6000 Hektare Nyaris Musnah, Malino Tak Lagi Dingin
Baca Juga : Perangi Stunting dan Kemiskinan Ekstrem di Gowa, Husniah: Program Jangan Hanya di Kertas!
Di Desa Erelembang, hutan pinus seluas 6.000 hektare nyaris habis.
Ironisnya, setelah “sukses” mengekspolitasi kawasan ini, perusahaan yang mengelola proyek getah karet kini merambah wilayah lain di Kecamatan Tombolo Pao.
“Laporan dari mahasiswa dataran tinggi menyebutkan kondisi hutan Gowa sudah darurat. Perambahan liar, pengelolaan hutan yang melanggar aturan, serta pembangunan vila dan kavling ilegal di Tinggimoncong kian marak,” tegas Nawir Kalling, Ketua HMI Cabang Gowa Raya.
Baca Juga : Cegah Praktik Pemalsuan, Polda Sulsel Luncurkan e-BPKB: Baru Cakup 3 Wilayah!
Lebih memprihatinkan, pihak-pihak yang semestinya bertindak—Departemen Kehutanan, Pemprov Sulsel, hingga aparat hukum—terkesan diam.
Baca berita lainnya Harian.news di Google News