Logo Harian.news

Luka Tanah yang Dirampas: Perjuangan Panjang Petani Lutim Melawan PTPN

Editor : Gita Kamis, 16 Januari 2025 19:07
Luka Tanah yang Dirampas: Perjuangan Panjang Petani Lutim Melawan PTPN

HARIAN.NEWS, MAKASSAR – Rabu, 15 Januari 2025, seolah waktu berhenti di depan gedung Polres Luwu Timur (Lutim). Enam petani dari Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS) datang dengan langkah pasti, ditemani suara riuh solidaritas dari lima puluh rekannya.

Didampingi tim hukum YLBHI-LBH Makassar, mereka menjawab panggilan atas laporan seorang karyawan BUMN, Mugianto, yang menjadi representasi dari kekuasaan korporasi besar bernama PTPN. Bagi mereka, panggilan ini adalah babak baru dari sebuah skenario panjang yang penuh dengan luka, tekanan, dan perlawanan.

Di tanah Mantadulu, Tawakua, dan Taripa, keheningan telah lama lenyap. Sejak Desember 2024, serikat tani mendirikan tenda perjuangan sebagai benteng terakhir melawan raksasa korporasi.

Baca Juga : Program MBG Dinilai Berpotensi Memicu Konflik Agraria Baru

Mereka menuntut keadilan atas tanah yang dirampas, tanah yang dulu subur oleh tangan para petani transmigran dari Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, juga tanah-tanah lokal yang telah menjadi saksi sejarah hidup beberapa generasi.

Aksi reclaiming yang mereka lakukan tak hanya berteriak tentang kepemilikan tanah, tetapi juga melawan hegemoni yang merampas harapan.

Di tengah deru mesin perkebunan kelapa sawit, ada kisah tanah-tanah yang telah lama tertindas. Pada 1994, PTPN IV mengambil alih lahan masyarakat dengan dalih peralihan HGU dari Desa Baramamase di Kabupaten Luwu.

Baca Juga : Anggota Dewan Tinjau Dampak Banjir di Wajo, Petani Harap Solusi Konkret

Namun, perpindahan ini tidak mengindahkan hak-hak warga yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Surat Keterangan Tanah (SKT).

“Dalam sekejap, tanah yang dulu menjadi sumber penghidupan berubah menjadi medan konflik, diwarnai kekerasan, dan ketidakadilan,” ucap Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sulawesi Selatan

Ia menerangkan kalau aksi demi aksi telah dilakukan petani untuk menuntut hak mereka. Pada 2003, mereka menutup akses jalan perusahaan dan berunjuk rasa hingga gedung DPRD.

Baca Juga : Progres Program Tanam Padi PTPN: Tumbuh Subur dan Potensi Tambah Pendapatan Petani Sawit

“Namun, apa yang mereka terima hanyalah kehadiran Brimob yang merespons dengan tangan besi. Tahun-tahun berikutnya, saat lahan seluas 455 hektar berhasil direbut, PTPN kembali menekan mereka dengan biaya sewa yang tak masuk akal, memeras jerih payah dari setiap jengkal tanah yang mereka garap,” jelasnya.

Dalam tiga dekade terakhir, bayang-bayang ketimpangan terus mengitari Sulawesi Selatan. Berdasarkan Sensus Pertanian BPS 2023, 42,21% petani di provinsi ini tergolong petani gurem, angka yang terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Mereka adalah wajah-wajah lelah yang mencoba bertahan di tengah arus deras monopoli lahan oleh perusahaan besar. Ketimpangan ini menjadi cermin buram dari keberpihakan yang tak adil.

Baca Juga : Program Listrik PLN Masuk Sawah Buat Petani Sulsel Untung

Di bawah langit yang tak selalu bersahabat, petani Mantadulu dan sekitarnya mendirikan tenda perjuangan sebagai simbol harapan.

Mereka menuntut dihentikannya aktivitas ilegal PTPN yang selama puluhan tahun menguasai lahan tanpa HGU. Di balik tuntutan itu, ada harapan agar pemerintah, dari Presiden hingga pejabat lokal, mendengar suara mereka.

“Tanah yang mereka perjuangkan bukan sekadar milik, tetapi kehidupan itu sendiri,” imbuh Rizki.

Namun, kekuasaan tak mudah mendengar. Surat demi surat dari Komnas HAM hingga lembaga lokal telah lama berdebu di meja-meja birokrasi.

Dalam perjalanan waktu, hanya solidaritaslah yang menjadi pelipur lara. Tenda-tenda perjuangan itu, meski sederhana, adalah benteng yang menyimpan asa akan keadilan.

Dalam tenda-tenda itu, suara-suara solidaritas terus bergaung. Mereka, yang sehari-hari menanam, kini bersuara untuk melawan.

Mereka menuntut pemerintah untuk mengembalikan tanah mereka, menghentikan kriminalisasi terhadap petani, dan mengusut praktik ilegal yang telah berlangsung puluhan tahun.

Di balik tuntutan itu, ada narasi panjang tentang tanah, manusia, dan ketidakadilan yang terus menghantui.

Tanah adalah nyawa bagi mereka. Setiap genggam tanah yang mereka perjuangkan adalah simbol kehidupan dan warisan untuk anak cucu.

Meski berada di bawah tekanan, mereka percaya bahwa keadilan tidak selamanya terbungkam. Solidaritas yang mereka bangun adalah api kecil yang terus menyala, menyalakan harapan di tengah gelapnya perjalanan ini.

Maka, di tanah Mantadulu, Tawakua, dan Taripa, perlawanan ini tidak akan berakhir hanya dengan tenda-tenda perjuangan.

Sebaliknya, ia akan tumbuh menjadi gerakan yang lebih besar, sebuah suara kolektif yang menuntut agar tanah kembali kepada mereka yang bekerja dan hidup darinya.

Dan di sana, di tengah perjuangan itu, para petani berdiri tegak, menatap masa depan dengan harapan bahwa suatu hari keadilan akan menjadi milik mereka.

Baca berita lainnya Harian.news di Google News

Redaksi Harian.news menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi@harian.news

Follow Social Media Kami

KomentarAnda