“Dengan kewenangan yang semakin besar, independensi kejaksaan bisa dipertanyakan. Apalagi, proses hukum terhadap jaksa harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung. Ini bisa menjadi celah bagi konflik kepentingan,” tegasnya.
Dr. Culla juga mengkritik posisi Jaksa Agung yang merupakan bagian dari kabinet pemerintahan.
Menurutnya, hal ini berpotensi membuat kejaksaan rentan terhadap intervensi politik dari eksekutif.
Baca Juga : FGD KPUD Sinjai, Akademisi Sentil Minimnya Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024
“Jika kejaksaan menjadi ‘super body’ tanpa pengawasan yang jelas, ini bisa mengancam prinsip checks and balances dalam sistem hukum kita,” ujarnya.
Suara kritis juga datang dari kalangan mahasiswa. Fajar, perwakilan mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas), menegaskan bahwa revisi UU Kejaksaan seharusnya ditolak karena berpotensi melemahkan peran masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja kejaksaan.
“Revisi ini akan membuat kejaksaan menjadi lembaga yang terlalu kuat dan sulit dikontrol. Masyarakat sipil akan kehilangan ruang untuk melakukan pengawasan. Ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ujar Fajar.
Baca Juga : Revisi UU Kejaksaan Disorot, Pakar dan Mahasiswa Khawatirkan Penyalahgunaan Wewenang
Di tengah berbagai kekhawatiran tersebut, Dr. Hasrullah, pakar komunikasi politik, menekankan pentingnya koordinasi antarlembaga penegak hukum.
Menurutnya, masalah utama bukan hanya soal kewenangan, tetapi bagaimana kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dapat bekerja sama secara harmonis.
“Tanpa koordinasi yang baik, tumpang tindih kewenangan hanya akan memperburuk sistem hukum kita. Revisi UU Kejaksaan harus memastikan adanya mekanisme koordinasi yang jelas antarlembaga,” ujarnya.
Baca Juga : Pakar Sebut Sulsel Berpotensi PSU Jika TSM Terbukti
Baca berita lainnya Harian.news di Google News
